Melihat Sejenak Anak di Internet
Daftar Isi
Seharusnya kita sudah sadar jika internet pada awal abad 21 ini sudah mulai menjadi kebutuhan pokok bagi orang modern, sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Hal tersebut tidaklah mengherankan, seiring dengan inovasi dan produksi massal dari teknologi informasi komunikasi sebagai pelengkap globalisasi, maka layanan internet dari hari ke hari menjadi semakin mudah dan murah diakses.
Di Indonesia sendiri, menurut hasil survei tahun 2018 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, APJII, ada 171,17 Juta pengguna dari total jumlah penduduk Indonesia yang 264,16 juta jiwa. Dari data di atas dapat dilihat bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah pernah menggunakan internet. Perlu diingat juga bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia akan terus bertambah kuantitasnya.
(Sumber: APJII)
171,17 juta orang tadi berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang persebarannya tidak merata, jika dilihat dari rentang umur pun maka kebanyakan pengguna internet adalah dalam usia anak hingga remaja dewasa awal. Pengguna yang berada di rentang usia anak-anak (0-17 tahun menurut WHO) masuk ke dalam range pengguna tertinggi.
Anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) di Indonesia sudah bisa mengakses internet untuk kebutuhan hiburan, mengerjakan tugas sekolah, bermedia sosial, bahkan mengakses surat elektronik. Sementara, internet seperti belantara digital tak bertepi. Segala jenis informasi tersedia, dari yang bermanfaat hingga petunjuk membuat bom dari bahan-bahan rumah tangga yang mudah dijumpai. Data BPS pada hasil Survei Ekonomi dan Sosial (Susenas BPS 2019), BAB 7 tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi menyebutkan sebanyak 66,9 persen anak usia sekolah dasar menggunakan internet untuk kebutuhan hiburan, misalnya main games, menonton video dan streaming film, atau mendengarkan musik dan podcast. Selebihnya untuk mengerjakan tugas sekolah, untuk media sosial (Facebook, Twitter, Whatsapp, dll), mengakses informasi, dan 6,2 persen untuk menerima atau mengirim email. Pola yang sama berlaku baik di perdesaan maupun perkotaan.
Sayangnya, sebaran akses internet belum merata. Anak kota jauh lebih banyak yang bisa mengakses internet. Bila dibandingkan, hanya 3,12 persen anak di desa yang bisa mengakses internet. Sedangkan di kota, bisa mencapai 15 persen lebih. Anak usia sekolah dasar di Indonesia, di perdesaan dan perkotaan, secara umum baru 9 persen lebih yang mengakses internet. Bandingkan dengan 25,2 juta anak usia sekolah dasar dalam data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019.
Anak-anak yang terlahir pada era internet , tak bisa dipinggirkan dari dunia maya. Tak sedikit orang tua yang terjebak dilema antara melarang, atau membatasi penggunaan internet sesuai usia anak. Apalagi, bila melihat penggunaan internet untuk hiburan, misalnya bermain games atau bermedia sosial. Orang tua, jadi salah satu kunci dalam mengawasi penggunaannya. Orang tua harus melakukan pembatasan, dalam arti memberikan akses terbatas kepada anak dan memberitahukan konten yang layak bagi usia mereka. Selain itu, mengajarkan tentang baik-buruknya menggunakan internet.
Hasil survei Kemenkominfo dan Unicef pada 2014 yang bertema, "Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia", menyebutkan penggunaan internet di kalangan anak-anak dan remaja sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun rekomendasi hasil penelitian itu, perlunya meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan anak-anak dan remaja dalam berinternet, melalui sosialisasi, pendidikan Iiterasi, dan pelatihan. Upaya besar yang butuh komitmen dari berbagai pihak.
Mengubah kekhawatiran jadi peluang
Tingginya minat anak usia SD terhadap hiburan, termasuk games, bisa diubah menjadi sesuatu yang positif. Misalnya yang terjadi pada Kurie Suditomo (41). Cemas melihat kedua anak lelakinya lupa waktu saat main games di komputer atau gawai, ia justru terinspirasi untuk mengajari anak-anak menjadi produktif dengan komputer. Dia cukup yakin bahwa semua anak di negeri ini bisa mempelajari coding dengan atau tanpa gawai. Mantan jurnalis tersebut menggandeng rekannya yang paham pemrograman komputer, lalu mendirikan sekolah pemrograman untuk anak pada 2013 yang diberi nama codingcamp.id.
Orang dewasa cenderung melihat apa yang dimainkan anak tidak berguna. Padahal, itulah kebutuhan mereka pada masa depan. Seymour Papert (1993) untuk contoh, membuktikan bahwa komputer memberikan tentang bentuk baru dari pembelajaran, yang mana melebihi batasan dari metode linier lama seperti cetak dan televisi. Selain itu ahli lainnya membuktikan bahwa komputer memberi kewenangan pada anak-anak untuk berkomunikasi dengan yang lainnya, untuk mengekspresikan diri mereka dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat umum dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. John Kartz (1996), misalnya, memandang internet sebagai alat liberasi anak-anak: hal ini memberikan anak-anak kesempatan untuk terlepas dari pengawasan orang dewasa, dan untuk menciptakan budaya dan komunitas mereka. Don Tapscot (1997) mengusulkan bahwa internet menciptakan sebuah ‘generasi elektronik’ yang mana lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara sosial, dan lebih baik terinformasi dari generasi sebelumnya
Kesenjangan masih jadi tantangan
Jumlah pengakses internet Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Lebih dari setengah populasi penduduk Indonesia terhubung internet atau mencapai 171,17 juta pengguna versi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI). Sayangnya, penggunaan internet oleh anak usia SD belum merata. Pengguna internet usia anak mayoritas berada di wilayah perkotaan. Di Jakarta, 25 persen anak seusia SD sudah bisa mengakses internet. Sedangkan di Lampung, hanya berkisar pada angka 3 persen. Daerah lain di luar Pulau Jawa, akses internet untuk usia anak ini pada umumnya belum mencapai 10 persen. Kesenjangan kian tampak dari karakteristik wilayah. Di perdesaan, akses terhadap internet masih sangat rendah dibanding perkotaan.
Perlahan tapi pasti, seiring pengembangan infrastruktur, berbagai daerah tersebut akan terjangkau internet. Saat momen itu datang, orang tua pasti akan lebih tenang bila anak-anak menyambutnya dengan pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan internet secara produktif. Literasi digital bagi anak-anak adalah perlu, setuju?
Referensi
BPS. “Statistik Kesejahteraan Rakyat 2019”. https://www.bps.go.id/publication/2019/11/22/1dfd4ad6cb598cd011b500f7/statistik-kesejahteraan-rakyat-2019.html - Diakses 27 Maret 2020
Haryanto, Agus Tri. (2019, 16 Mei). Pengguna Internet Indonesia Didominasi Milenial. Tulisan dalam https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial - Diakses 27 Maret 2020
Kemendikbud. “Jumlah Siswa Sekolah Dasar Seluruh Indonesia Tahun Ajaran 2019/2020”. http://statistik.data.kemdikbud.go.id/ - Diakses 27 Maret 2020
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. (2006). Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 2 : "Creating Community with Media: History, Theories and Scientific Investigations". London: Sage Publications Ltd.
Savitri, Tina. “Kurie Suditomo Mengasah Logika Anak lewat Sekolah Coding”. https://www.pesona.co.id/read/kurie-suditomo-mengasah-logika-anak-lewat-sekolah-coding - Diakses 27 Maret 2020
WHO. “Definition of age - World Health Organization”. https://www.who.int/age-range-classification/pub/guidelines/arv2013/intro/keyterms/en/ - Diakses 27 Maret 2020
Posting Komentar