Face-Negotiation Theory

Pengantar

            Face negotiation theory adalah manajemen atau penanganan konflik dengan perbedaan latar belakang budaya. Tujuan dari teori ini adalah memahami sebab terjadinya konflik dan menemukan cara atau proses yang tepat sehingga konflik dapat mencapai titik penyelesainannya. Face negotiation theory berlaku dalam konteks lintas budaya. Stella Ting-Toomey adalah orang yang berhasil memetangkan dan meperkenalkan teori negosiasi wajah pada tahun 1985. Wajah yang dimaksudkan dalam teori ini adalah citra diri seseorang. Orang yang sedang berkonflik mengancam akan mempertahankan, menyimpan atau mengembalikan wajahnya.

Face-Negotiation Theory

            Teori negosiasi wajah berfokus pada penanganan konflik yang terjadi lintas budaya. Yang mempengaruhi pembentukan wajah seseorang adalah self atau diri, goals atau tujuan, dan Duty atau tugas. Perbedaan penekanan dan tanggapan terhadap tiga faktor tersebut dalam budaya akan menghasilkan kultur individu dan dan kultur kolektif. Kultur individu adalah dimana sesorang memfokuskan tujuan, diri dan tugasnya pada kepentingan pribadinya, sedang yang dinamakan kultur kolektif adalah dimana seseorang menempatkan kepentingan kelompok yang meliputi diri, tujuan dan tugas di atas kepentingan pribadinya. Contoh masyarakat yang menganut kultur individu adalah warga negara Amerika Serikat dan contoh orang-orang yang menganut kultur kolektif adalah warga negara Jepang.

            Self-construal dapat dimaknai sebagai karakter individu dibentuk oleh latar belakang budaya. Ada interdependensi yang berarti bahwa faktor ketergantungan atau keterikatan individu dalam kelompok tinggi, contohnya adalah masyarakat Jepang, sedang independensi adalah faktor ketergantungan atau keterkaitan individu dalam suatu kelompok rendah atau bahkan hampir tidak ada, contoh adalah warga negara Amerika Serikat.

            Konflik yang menyangkut risiko kehilangan wajah memunculkan dua kemungkinan perilaku, yang pertama adalah Self Restoration adalah memulihakan harga diri atau citra diri dan ini biasanya dijumpai dalam kultur individu. Self Giving adalah kondisi dimana seorang menjaga wajah orang lain atau menjaga agar orang lain tidak kehilangan muka, kondisi ini dijumpai pada kultur kolektif.

            Cara menyelesaikan konflik ada menghindar, melemparkan penyelesaian kepada kelompok, kompromi atau jalan tengah, dominasi, integrasi, menunjukkan ekspresi emosional, menyindir atau membicarakan sesuatu tidak secara langsung agar orang yang dimaksud merasa bersalah, bantuan dari pihak ketiga.

Catatan Kritis

            Toomey dalam menjelaskan teori negosiasi wajah ini menggunakan contoh kultur individu orang Amerika Serikat dan kultur Kolektif orang Jepang. Penggunaan contoh tersebut memang dapat mempermudah pemahaman akan teori negosiasi wajah, tapi juga sangat berisko untuk dapat dipahami bahwa penyelesain konflik di Amerika Serikat dan Jepang seluruhnya seperti itu. Pemahaman atau pemikiran seperti itu akan berujung pada stereotip, padahal banyak faktor yang mempengaruhi penyelesaian konflik oleh setiap orang Amerika Serikat atau Jepang.

Penerapan

            Teori ini cocok diterapkan pada penyelesaian atau manajemen konflik lintas budaya. Teori ini bertujuan untuk menemukan cara atau proses yang paling efisien dalam penyelesaian konflik yang ada. Memahami bagaimana proses penyelesaian bekerja artinya menemukan setengah jalan dari jalur penyelesaian masalah atau perseteruan yang sedang terjadi. Teori ini cocok dipelajari oleh siapa saja yang tertarik untuk menjadi mediator atau penengah dalam kasus perseteruan yang ada atau bisa juga menjadi keterampilan pribadi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Teori negosiasi wajah cocok digunakan untuk mengatasi konflik perceraian dalam pengadilan agama. Teori ini dapat menjelaskan bagaimana cara atau proses yang efisien untuk dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang ada di kasus perceraian tersebut. Jika pasangan suami istri berasal dari kultur individual dua-duanya maka konflik akan cendenrung mudah diatasi, berbeda dengan pasangan suami istri yang akan bercerai dua-duanya berasal dari kultur kolektif. Kasus tersebut akan alot dalam penyelesaiannya karena masing-masing pihak membawa latar belakang kelompok atau budayanya.

Contoh Kasus

            Ada perceraian pasangan menikah yang menjadi alot karena perebutan hak asuh anak. Sang ayah yang berlatar belakang batak memiliki watak keras tidak mau mengalah dan sangat kekeuh untuk mendapatkan kemenangan. Sang ibu yang memiliki latar belakang jawa sangat memperhatikan perasaan dan pendapat orang lain, memiliki tempramen yang kalem dan berpikiran tenang. Terjadilah perdebatan, saling melontarkan argumen di dalam ruang sidang. Sang hakim yang menangani kasus ini melihat dari cara bagaiamana sang ayah dan sang ibu menyelesaikan persoalan di ruang sidang dan mengambil keputusan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan sang ibu.

Tidak ada komentar untuk "Face-Negotiation Theory"