rangkuman buku: Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, karya Roger Simon
Pendahuluan (oleh Narendra Dewa)
Antonio Gramsci memang dikenal sebagai seorang sosialis yang teori-teorinya
berpijak pada marxisme ortodoks. Namun Gramsci tidak asal saja mengkooptasi
teori tersebut. Banyak penegasian dan pengingkarannya yang menunjukkan bahwa
dirinya sangat demokratis dan berkerakyatan. Cara-caranya untuk mengkudeta
kekuasaan yang otoriter, serta cara-caranya untuk menciptakan kesejahteraan
pada suatu Negara lebih bersifat ‘cinta damai’, bukan bersifat koersif. Belum
lagi pemikirannya yang berhasil membongkar kedok ideologi yang sering dipakai
para penguasa untuk melegitimasi kejahatan mereka. Ideologi yang sering dipakai
sebagai tameng oleh penguasa untuk mensucikan yang haram pada diri mereka. Atau
sebaliknya, mengharamkan orang-orang suci. Bagaimanapun, teori-teorinya masih
sangat relevan untuk dipakai dan diimplementasikan pada Negara-negara dunia
ketiga atau Negara berkembang saat ini yang merindukan kesejahteraan dan
keadilan, khususnya Indonesia. Negara yang mengaku sebagai Negara ‘demokrasi’.
Beberapa poin penting tentang kritiknya terhadap marxisme ortodoks
1.Teorinya tentang hegemoni pada dasarnya merupakan kritik terselubung terhadap
reduksionisme dan essensialisme yang melekat dalam banyak pikiran penganut
marxisme maupun pemikiran non-marxisme, yakni konsep pemikiran yang mereduksi
dan menganggap esensi terhadap suatu entiti tertentu sebagai satu-satunya
kebenaran mutlak. Misalnya saja di kalangan penganut teori marxisme sudah sejak
lama terjadi perselisihan tafsiran konsep seputar basic (ekonomi) dan superstructure
(ideologi, politik, pendidikan, budaya, dan sebagainya), di mana tafsiran
marxisme ortodoks percaya bahwa basic ekonomi menentukan superstruktur.
Akibatnya, sosialisme oleh golongan ortodoks ini direduksi menjadi ekonomisme
dan bahkan perjuangan kelas juga direduksi menjadi hanya kelas ekonomi,
sehingga gerakan itu hanya gerakan buruh, dan mengabaikan kemungkinan gerakan
lain sperti civil rights movement, women movement, gerakan masyarakat adat
ataupun gerakan lingkungan serta gerakan sosial lainnya (Simon, 2000 :xiv).
Perlu diketahui bahwa ekonomisme dapat didefinisikan sebagai tafsiran terhadap
marxisme yang meyakini bahwa perkembangan-perkembangan politik merupakan wujud
dari perkembangan-perkembangan ekonomi, sehingga politik cenderung kehilangan otonominya.
Salah satu bentuk ekonomisme adalah pandangan bahwa sejarah mempunyai gerakan
tersendiri, terlepas dari kehendak manusia, yang berasal dari pertumbuhan
kekuatan-kekuatan produksi yang terus berlangsung. Kapitalisme dipandang
sebagai perkembangan yang niscaya menuju krisis dan kehancuran ekonomi karena
pertentangan antara berbagai kekuatan dan hubungan produksi menjadi semakin
besar. Gramsci menyebut hal ini sebagai ‘determinisme mekanis’. Dalam pandangan
Gramsci, determinisme mekanis ini cenderung menumbuhkan sikap pasif dengan
menunggu keruntuhan ekonomi yang tidak terhindarkan dan hal ini melemahkan
munculnya inisiatif-inisiatif politis dari gerakan buruh (Simon, 2000 : 5-6).
2.Masih merupakan poin yang sama walaupun dengan kalimat yang berbeda.
Pemikiran Gramsci juga merupakan kritik terhadap kecenderungan positivistik dan
mekanistik para pengikut marxisme ortodok, terutama teori mereka mengenai
perubahan sosial dan revolusi. Tendensi positivisme dalam pemikiran kalangan
marxis adalah pandangan tentang perubahan formasi sosial. Salah satu
tafsirannya adalah bahwa masyarakat berkembang dan berubah secara linier dari
formasi sosial dan akumulasi primitif ke feodal, lantas kapitalistik, dan
akhirnya mekanisme eksploitatif yang mencapai taraf menekan hingga memunculkan
revolusi kaum buruh proletar, kemudian terwujudlah masyarakat dengan formasi
sosial sosialistik.
Dalam realitas sosial yang dianalisis Gramsci menunjukkan bahwa formasi sosial
kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini
ternyata tidak secara otomatis melahirkan revolusi sosial, malah muncul gejala
menguatnya “de-proletarisasi”, di mana para buruh rela dan ‘concern’ menerima
penderitaan, bahkan mendukung keberadaan rezim Mussolini (Simon, 2000 : xv-xvi).
3.Pengaruh dan sumbangan terbesar dari Gramsci justru kritiknya terhadap
politik indoktrinasi dan pendidikan sebagai penindasan. Pemikiran Gramsci
berpengaruh besar terhadap filsafat dan metodologis pendidikan dialogis dan
pendidikan untuk penyadaran kritis dan partisipatory research, dimana
pendidikan massa diletakkan sebagai gerakan tandingan terhadap hegemoni
dominan. Pendidikan dalam konteks tersebut merupakan “aksi cultural” bagi civil
society untuk membangkitkan kesadaran kritis “critical consciousness” rakyat
terhadap sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan, eksploitasi dan
berbagai sistem sosial yang tidak adil lainnya seperti struktur kelas, relasi
gender dan rasisme.
Pemikiran Gramsci sangat berpengaruh terhadap munculnya pendidikan kritis dan
mendorong munculnya aliran produksi dalam pendidikan dan pelatihan, yakni
setiap upaya pendidikan bagi mereka ini selalu ada peluang untuk senantiasa
mengembalikan fungsinya sebagai proses independen untuk transformasi sosial.
Hal ini berarti proses pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan
segenap ‘tabu’ dan menantang secara kritis hegemoni dominan dalam bentuk sistem
dan struktur yang tidak adil yang tengah berlaku. Bahkan pengaruh Gramsci juga
merasuk ke dalam diri pendidikan kritis itu sendiri, bahwa dalam proses
melakukan transformasi sosial pendidikan juga harus melakukan transformasi atas
diri mereka sendiri dahulu, yakni membongkar struktur tidak adil di dalam dunia
pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu, yakni antara murid dan guru (Simon,
2000 : xvi-xviii).
4.Gramsci juga mengkritik model sosialisme soviet, yaitu sistem birokrasi yang
sangat terpusat dan represif yang dibangun di Uni Soviet di bawah Stalin.
Sebelumnya Gramsci juga pernah mengkritik Lenin yang mendukung supremasi
politik (primacy of politics), karena bagaimanapun juga sistem demokrasi
langsung ala Lenin sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan penerus selanjutnya,
yaitu Stalin. Berikut paparan tentang kebijakan Lenin :
Lenin memang pernah mengkritik bentuk tertentu dari ekonomisme. Lenin
mengajukan argumentasi bahwa perjuangan serikat dagang hanya dapat menumbuhkan
kesadaran di kalangan serikat dagang tersebut, dan untuk mengembangkan
kesadaran politik, para pekerja itu harus berjuang menentang penindasan
otokrasi suatu kelas penguasa. Fase seperti ini disebut Gramsci sebagai ‘gilda’
atau ‘korporasi’. Sebalaiknya Lenin berpandangan bahwa kelas pekerja harus
bergerak melampaui fase korporasi ini dan bersama-sama dengan kaum petani,
harus bertindak sebagai kekuatan utama (hegemonik) dalam perjuangan demokratis
melawan kelas penindas. Karena Lenin dalam teori dan praktik mengembangkan
konsep kepemimpinan yang dipegang oleh kelas pekerja yang berasal dari gabungan
berbagai kekuatan sosial yang luas, Gramsci menganggapnya sebagai pendiri
konsep hegemoni.
Pokok pikiran Lenin bisa kita ringkas bahwa jika kita mengakui bahwa
kapitalisme dalam dirinya tidak mencakup beberapa kualitas esensial sehingga
bisa mendorongnya menuju kehancuran yang tak terhindarkan, maka pemecahan terhadap
setiap krisis ekonomi tergantung pada tindakan-tindakan sadar kekuatan manusia,
yakni intervensi politik. Namun demikian, tetap ada kelemahan mendasar dalam
teori politik Lenin. Lenin mendefinisikan Negara sebagai ‘instrumen kelas yang
berkuasa’ dan sebagai ‘mesin penindas’ oleh satu kelas terhadap kelas lain.
Akibatnya, demokrasi parlementer di bawah kapitalisme hanya menjadi demokrasi
bagi kelas yang berkuasa. Dalam revolusi sosialis, kaum proletariat perlu
menumbangkan Negara demokrasi parlementer dan menggantinya dengan model Negara
demokrasi soviet yang sama sekali berbeda, yang akan menjadi alat kekuasaan
kaum proletariat melawan kapitalis. Bagi kapitalisme, bentuk Negara yang sesuai
adalah demokrasi parlementer, sementara bagi sosialisme sistem yang sesuai
adalah demokrasi langsung seperti Negara-negara soviet.
Teori Marxisme-Leninisme tentang demokrasi parlementer merupakan hambatan
serius bagi partai komunis di Inggris dan Negara-negara lain dengan lembaga
parlementernya. Jadi, pada tahun 1951 partai komunis Inggris mengadopsi program
baru, The British Road to Socialism, yang mendukung jalan parlementer menuju
sosialisme daripada jalan soviet. Negara Parlementer harus diubah menjadi
Negara parlementer sosialis, bukan diganti dengan Negara yang berdasar atas
prinsip-prinsip demokrasi langsung dan organisasi-organisasi tempat kerja.
Meskipun hal ini merupakan langkah maju, ia masih menyisakan problem teoretis
akan watak demokrasi, serta hubungan antara sosialisme dan demokrasi yang belum
terpecahkan. Konsep Gramsci tentang hegemoni merupakan langkah maju. Konsep ini
dibangun di atas pengakuan bahwa perjuangan-perjuangan demokrasi rakyat, dan
lembaga-lembaga parlementer yang telah mereka bentuk tidak perlu mempunyai
karakter kelas. Sebaliknya lembaga-lembaga menjadi jalur bagi perjuangan
politik antara dua kelas utama, yaitu kelas pekerja dan kelas kapitalis. Untuk
bergerak maju menuju sosialisme, gerakan buruh harus menemukan cara untuk
mempertautkan perjuangan-perjuangan demokrasi rakyat ini dengan tujuan-tujuan
sosialisnya, membangun aliansi yang memungkinkannya untuk meraih kedudukan
kepemimpinan nasional (hegemoni).
Salah satu kesimpulan pokok yang dapat ditarik dari ilustrasi di atas adalah
bahwa sosialisme tidak dapat dipaksakan dari atas, melalui agen Negara.
Sosialisme harus dibangun dari bawah, dengan memperluas partisipasi masyarakat
dalam bidang politik secara terus-menerus, termasuk perubahan-perubahan
mendasar dalam kebiasaan-kebiasaan dan kesadaran ; proyek sosialis adalah suatu
proses yang kemungkinan memerlukan waktu yang sangat panjang (Simon, 2000 :
7-12).
Beberapa istilah atau konsep penting dalam gagasan-gagasan politik Gramsci
1.Hegemoni
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan
hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus (Simon, 2000 : 19-20). Hegemoni
merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh
kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas
(Simon, 2000 : 21).
2.Kelas Hegemonik
Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan
persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan
mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis ( Simon,
2000 : 22). Kelas pekerja hanya bisa menjadi kelas hegemonik dengan
memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain
serta menemukan cara untuk mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri
(Simon, 2000 : 23).
3.Ekonomi-korporasi
Kepentingan yang hanya sebatas pada perjuangan lokal kelas tertentu saja
(Simon, 2000 :23).
4.Nasional-Kerakyatan
Karena hegemoni terutama dipahami dalam pengertian aliansi antarkelas atau
kelompok kelas, Gramsci menambahkan dimensi baru yang sangat penting dengan
mengajukan konsep tentang nasional-kerakyatan : bahwa suatu kelas tidak bisa
menjadi hegemonik, jika kelas itu hanya membatasi pada kepentingan mereka
sendiri ; mereka harus memperhatikan tuntutan dan perjuangan rakyat yang tidak
mempunyai karakter kelas yang bersifat murni, yakni, yang tidak muncul secara
langsung dari hubungan-hubungan produksi. Jadi, hegemoni mempunyai dimensi
nasional-kerakyatan, di samping dimensi kelas. Hegemoni memerlukan penyatuan
berbagai kekuatan sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang
mengungkapkan kehendak kolektif semua rakyat, sehingga masing-masing kekuatan
ini bisa mempertahankan otonominya sendiri dan memberikan sumbangan dalam gerak
menuju sosialisme (Simon, 2000 : 24).
5.Perang Posisi (War of Position)
Perang posisi adalah strategi membangun suatu kelompok besar yang terdiri dari
berbagai kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama tentang dunia
(Simon, 2000 : 24).
6.Revolusi Pasif
Revolusi pasif merupakan respon yang khas kaum borjuis ketika hegemoninya
terancam secara serius sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali
secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoninya. Revolusi pasif
terjadi manakala berbagai perubahan yang berskala luas dalam strutur sosial dan
ekonomi berasal dari atas, melalui agen Negara, tanpa melibatkan partisipasi
aktif rakyat (Simon, 2000 : 25-26).
7.Pemikiran Awam (Common Sense)
Cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia (Simon,
2000 : 27).
8.Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil adalah hubungan sosial yang terjelma dalam berbagai organisasi
dan lembaga yang terdiri dari lembaga agama, partai politik, serikat dagang,
media massa, lembaga kebudayaan, dan lembaga sukarela. Hubungan sosial yang
membentuk masyarakat sipil berbeda dengan hubungan produksi. Hubungan dalam
masyarakat sipil juga berbeda dengan aparat-aparat yang membentuk Negara.
Masyarakat sipil adalah suatu wadah perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi-
kerakyatan. Masyarakat sipil adalah wadah yang di situ kelompok sosial yang
dominan mengatur konsensus dan hegemoni (Simon, 2000 : 28).
9.Hegemoni Tandingan/ Hegemoni Alternatif (Counter-Hegemony)
Hegemoni yang dibangun oleh kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah
(subordinate) dalam ranah masyarakat sipil untuk dapat menyusun perlawanan
mereka (Simon, 2000 :28).
10.Blok Historis
Cara yang dilakukan kelas hegemonik dalam memadukan kepemimpinan dari suatu
kelompok kekuatan sosial dalam masyarakat sipil dengan kepemimpinan dalam
bidang produksi (Simon, 2000 : 29). Kelas hegemonic yang berhasil membangun
blok kekuatan sosial yang mampu bertahan sepanjang periode sejarah disebut
Gramsci blok historis (historic bloc) (Simon, 2000 : 38).
11.Negara Integral
Negara yang menggunakan hegemoni yang dilapisi dengan kekerasan/ menggunakan
aparat Negara yang bersifat koersif (Simon, 2000 : 30).
12.Intelektual
Semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan
masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan
kebudayaan (Simon, 2000 : 141).
13.Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional terbatas pada lingkungan kaum tani dan borjuis kota
yang kecil, “belum meluas dan tergerak oleh sistem kapitalis”. Intelektual
tradisonal adalah mereka yang menjadi intelektual organik dalam model
produksi-model produksi feodal-yang telah digantikan atau menjadi intelektual
organik dalam model produksi yang sedang dalam proses digantikan. Dengan
demikian, dari sudut pandang kelas pekerja, semua intelektual organik dari
kelas kapitalis adalah intelektual tradisional. Namun mungkin definisi final
yang paling tepat adalah bahwa intelektual tradisional “menempatkan dirinya
sebagai kelompok sosial dominan yang otonom dan independen” dan mendefinisikannya
sebagai “orang-orang yang kedudukannya dalam masyarakat mempunyai lingkaran
inter-kelas tertentu” ( Simon, 2000 : 143).
14.Intelektual Organik
Organisator hegemoni yang mempunyai pengaruh besar untuk memberi sumbangan bagi
gerakan demokrasi dan buruh (Simon, 2000 : 148-150).
15.Ideologi
Ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam artian bahwa ia menjelma dalam
praktik-praktik sosial setiap orang dan dalam lembaga-lembaga serta
organisasi-organisasi dimana praktik-praktik sosial tersebut berlangsung.
Organisasi ini mencakup partai politik, serikat dagang dan organisasi lain yang
menjadi bagian dari mayarakat sipil ; aparat Negara; dan organisasi-organisasi
ekonomi seperti industri dan perusahaan komersial serta lembaga keuangan. Semua
lembaga ini memainkan peran dalam menjabarkan, mempertahankan, dan menyebarkan
ideologi ; atau dengan kata lain, lembaga-lembaga itu mempunyai efek-efek
ideologis (Simon, 2000 :86).
Penutup (oleh Narendra Dewa)
Di Indonesia, kecenderungan yang terjadi lebih merupakan sebuah keprihatinan,
yaitu kontradiksi dari sebuah demokrasi. Sering para penguasa dan rezimnya
bertindak seperti Risorgimento dan sebagai Negara integral, yang menggunakan
cara revolusi pasif yang bersifat koersif untuk memobilisasi massa atau menyatukan
aspirasi rakyatnya. Para pemimpin di Indonesia, khususnya ‘Bapak orde baru’
kita sama sekali tidak mempunyai jiwa nasional kerakyatan. Dia seorang
diktator, dia fasis. Dia sering menggunakan ideologi-ideologi untuk
menghegemoni dan memanipulasi common sense rakyatnya. Dia sering merangkul
lembaga-lembaga dalam masyarakat sipil untuk mendukung korporasi dan supremasi
kekuasaannya dan kejahatannya.
Lalu mengapa ide-ide dan gagasan-gagasan Gramsci secara tidak sadar malah
digunakan oleh pemimpin-pemimpin yang salah. Bukan hanya ‘bapak orde baru’ yang
satu itu tetapi bahkan juga oleh semua orang yang memiliki kekuasaan di
Indonesia. Bahkan sekarang Prabowo ingin menjadi seorang presiden dengan cara
menjadi kelas hegemonik terlebih dahulu. Dia merangkul kaum petani dan nelayan
yang selama ini tersubordinasi. Namun harus diingat, jika Prabowo dan
capres-capres lain ternyata hanya memanfaatkan suara-suara rakyat kecil dan
akhirnya salah satu dari mereka berhasil menjadi presiden, tetapi menjadi
presiden yang lalim dan fasis, maka mau tidak mau akan ada suatu fase
gonjang-ganjing kekuasaan yang disebut krisis organik. Pada saat itu pula
diperlukan seorang intelektual organik untuk melancarkan war of position dan
memberikan hegemoni tandingan.
Oleh karena itu, pendidikan atau popular education seperti yang diharapkan
Gramsci perlu dijalankan mulai dari sekarang. Pendidikan untuk memunculkan
pemikiran kritis dalam pemikiran awam. Agar masyarakat Indonesia yang selama
ini hanya diam dan bungkam menjadi berinisiatif untuk memberontak, agar
masyarakat Indonesia sadar bahwa selama ini mereka menderita dan ditindas oleh
para pemimpin dan pejabat. Ada beberapa elemen masyarakat yang selama ini sadar
dengan penderitaan dan ketertindasan mereka, yaitu para intelektual tradisional.
Namun mereka malas dan tidak berani berinisiatif untuk melawan, tidak berani
membebaskan sesama mereka yang sama-sama tertindas. Oleh karena itu, pendidikan
juga berfungsi untuk memunculkan intelektual-intelektual organik baru yang
tidak hanya menunggu satrio piningit dan menunggu intelektual tradisional untuk
memulai perubahan dan menyelamatkan mereka, Seperti kaum buruh di Italia yang
terkena sindrom de-proletarisasi di bawah rezim Mussolini yang menunggu
kejatuhan kapitalisme dan terciptanya masyarakat sosialis. Kita semua harus
menjadi intelektual organik yang akan membawa perubahan. Tidak perlu harus
sampai mengkudeta melengserkan pemimpin yang otoriter, dan akhirnya membawa
kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua orang di Indonesia, tetapi mulailah
perlawanan dari lingkup yang terkecil : ‘melawan diri sendiri’, melawan ego
dalam diri yang berniat untuk menjadi dan mengikuti gaya hidup kelas-kelas atas
atau kelas penindas. Itulah yang disebut dengan hegemoni tandingan. Siapakah
kelas penindas itu? Pejabat-pejabat dalam pemerintahan Negara selaku masyarakat
politik, intervensi asing yang juga menjadi kelas imperialis mulai dari
MacDonalds sampai Barack Obama, dan semua orang atau semua hal yang memiliki
akses untuk memanipulasi pikiran kita dan menyetir kita ke dalam tujuan mereka.
Ketika kita sudah menjadi seseorang yang tidak mampu disetir dan dikendalikan
oleh para penguasa, maka bangunlah aliansi dan jaringan dengan semua orang dan
golongan yang berpikiran serupa. Orang-orang dan golongan yang menginginkan
perubahan, kesejahteran, dan keadilan. Setelah itu, jadilah kita kelas
hegemonik yang mampu bertahan sepanjang zaman (Blok Historis). Kelas yang
terdiri dari berbagai kepentingan dan tujuan tetapi memiliki satu visi, misi,
dan budaya baru yang ditawarkan, yaitu : Keadilan. Bisakah kita? Tentu saja,
karena kita adalah intelektual. Seperti kata Gramsci ; “Semua orang adalah
Intelektual.” Mampukah kita? Sepertinya sulit, tetapi jika kita memiliki tekad
yang kuat, kita pasti mampu. Seperti kalimat yang paling disukai Gramsci ;
“Pesimis dalam berpikir, optimis dalam kehendak.
Tidak ada komentar untuk "rangkuman buku: Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, karya Roger Simon"
Posting Komentar