Things That Might Make Me Happy, It Seems
Daftar Isi
Walah, udah hari ke dua aja nih. Topik tantangan menulis hari ini adalah untuk bercerita mengenai perihal apa saja yang dapat membuat saya bahagia. Dari topik tersebut saya menemukan dua buah fokus, pertama pada hal/matter dan kedua bahagia/happy. Matter dan happy ini konsepnya beda, tetapi saling berkaitan. Happy adalah kondisi diri ketika rasa khawatir dan ketakutan akan realitas hidup itu dapat terlupakan barang sejenak. Sumber happy ini bisa datang dari dalam diri dan luar diri.
Manusia zaman ini tumbuh dengan sosialisasi bahwa hidup harus mendapatkan kebahagiaan dan menghindari kesedihan. Sungguh sebuah wacana yang hampir utopis, karena biasanya untuk merasakan kebahagiaan, manusia harus melalui penderitaan dan kesedihan dahulu. Ingatlah kisah Budha sebelum menjadi Budha. Beliau awalnya adalah seorang pangeran yang minim paparan negatifnya dunia. Apakah pengeran tersebut dapat dikatakan berbahagia? Menurut saya, beliau pernah merasakan bahagia sampai life crisis menghampiri dan beliau kehilangan gairah hidup. Merasa muak dengan kondisi hidupnya saat itu, beliau berusaha melepaskan segara privilege yang dia punya sebagai keluarga kerajaan dan memilih hidup sukar menggelandang. Apakah setelah itu beliau menemukan apa yang dicari? Ya untuk waktu tertentu sampai makna bahagia itu terasa hambar lagi di hidup beliau.
Bahagia Secukupnya
Pesan yang dapat saya ambil dari dua pengalaman ekstrim hidup Budha adalah sadar akan cukup. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Konsumsi obat melebihi batas hingga overdosis itu berbahaya. Yang semula obat berubah menjadi racun. Begitupun perasaan bahagia dan sedih. Kita memang berusaha keras menghindari rasa sedih dan mendapatkan rasa bahagia. Namun, yang harus disadari bahwa untuk dapat bahagia harus pernah merasakan sedih. Yang unik adalah, menurut saya, untuk dapat merasakan sedih belum tentu harus pernah merasakan bahagia, dan kesedihan setelah mengetahui rasa bahagia itu drajatnya akan lebih besar ketimbang sedih terus.
Hidup bisa dikatakan adalah rangkaian kesedihan yang diselingi oleh kebahagiaan.
Kutipan di atas terdengar sangat depresif, tetapi begitulah kenyataannya. Kita lebih akrab dengan kesedihan daripada kebahagiaan. Menurut hukum pasar, semakin langka suatu hal, maka harga barang tersebut akan semakin mahal. Banyak orang yang mencari kebahagiaan, sayangnya hanya sedikit orang yang mencapainya. Kenapa kiranya begitu?
Bersyukur Itu Perlu
Menghadapi kenyataan bahwa manusia hidup di dunia lebih banyak mengalami kesukaran dan sedih, maka kesadaran untuk bersyukur menjadi penting. Sadar bahwa manusia hidup di dunia itu sementara dan hidup adalah sebuah bentuk ujian. Sialnya ujian tersebut tidak dibuat untuk mudah dilalui. Alternatif untuk mengatasi kelangkaan bahagia adalah dengan menerima fakta hidup di atas. Otak manusia didesign untuk rentan terhadap depresi, tetapi bukan menjadi penghambat untuk menyerah dan binasa. Dorongan bertahan hidup manusia itu luar biasa hebat, Resilience.
Kok Nulis Muter Ngalor Ngidul, Jadi Apa yang Buat Kamu Bahagia toh?
Penerimaan, Bersyukur, sadar, dan resilience sepertinya menjadi hal yang dapat membuat saya bahagia sekarang, paling tidak sewaktu saya menulis ini. Saya hidup di zaman damai, tidak sedang terjadi perang berdarah di dekat lingkungan hidup saya, kebutuhan saya rasa hampir cukup terpenuhi, paling tidak kebutuhan yang dimaksudkan oleh Abraham Maslow dalam konsep piramida kebutuhannya.
Oh iya, teringat pesan, Manfaatkanlah dengan baik lima perkara sebelum datang lima perkara. Muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, luang sebelum sibuk, dan hidup sebelum log out from this world.
Note: mengetik tulisan di atas ketika kepala sedang cenat cenut.
Posting Komentar