Entah Apa
Satu malam lagi dilewati dengan
kepala penuh dengan pemikiran acak yang sulit untukku organisir. Sekarang,
waktu aku mengetik ini, angka pada jam dinding menujuk pada pukul 03.18 pagi.
Tujuanku menulis pagi ini adalah untuk meringankan kerja dalam kepalaku. Alasan
kenapa aku menulis di pagi buta ini selain karena aku tak merasa mengantuk
setelah melewati lebih dari 24 jam tanpa tidur adalah aku mengingat sebuah
saran di podcast unqualified. Inti dari
saran itu yang aku ingat adalah kalo pikiran terasa penuh maka cobalah untuk
menuliskan pikiran itu. Menulis merupakan sebuah kegiatan yang dapat membantu
untuk mengurangi sesaknya pikiran, bisa dibilang semacam terapi.
Aku baru sadar kalo aku baru saja
melewati tanggal 29 Februari, hari yang datang setiap empat tahun sekali. Hari
yang memiliki arti khusus bagi sebagian orang. Ya, hanya sebagian orang karena
sebagian lagi tidak merasa ada pengaruh secara langsung terhadap tanggal 29
Februari selain hanya angka. Aku termasuk dalam golongan manusia yang kedua,
padahal aku tahu bahwa tanggal yang datang setiap empat tahun itu memiliki
peran pentingnya sendiri. Tanggal tersebut menjaga agar perhitungan waktu
secara keseluruhan tetap konsisten di dalam penanggalan masehi. Jika tanggal 29
pada bulan kedua tersebut tidak ada, maka bisa dipastikan akan ada distorsi
waktu terhadap kalender masehi. Begitulah batas dari pengetahuan yang ada
padaku mengenai tanggal 29 Februari.
Berbicara tentang hari, aku merasa
minder sama tumbuhan. Itu rasa yang serius, aku tak sedang bercanda. Sejak
kecil aku selalu memperhatikan tumbuhan dari hari ke hari selalu bertumbuh
menjadi sesuatu yang lebih baik. Aku di saat bersamaan frustasi dengan keadaan
diriku yang kurasa tidak ada peningkatan yang baik. Aku merasa takut untuk
mengakui keadaan bahwa sesungguhnya jika berhadapan dengan waktu, aku merupakan
pihak yang merugi. Banyak perbaikan yang aku usahakan untuk menjadi manusia
yang memperlakukan waktu dengan lebih baik, tapi selalu berujung pada rasa
kecewa saja.
Pembelajaran yang aku dapatkan dari
rasa kecewa terhadap perlakuan diri ini terhadap waktu adalah motivasi dan
semangat saja engga cukup untuk menghantarkan diri ke arah yang lebih baik.
Komitmen dan kesadaran diri secara penuh juga harus disertakan dalam perjalanan
mengatur waktu dalam masa kehidupan.
Waktu merupakan sumber daya yang
sangat berharga bagi manusia hidup, tak ada entitas lain yang bisa memberikan
waktu kepada orang yang kehabisan waktunya. Tere liye, seorang penulis, pernah
menggambarkan harga dari waktu dengan sebuah saran pertanyaan tentang nilai
dari waktu pada beberapa jenis orang. Berapa harga dari satu detik hanya bisa
dijawab oleh orang yang baru saja menghindari sebuah kecelakaan.
Aku masih heran dan bingung dengan
diriku sendiri yang meski aku sudah tahu bahwa waktu setidaktergantikan itu,
tapi aku masih merasa takut untuk mencoba suatu hal, bahkan dalam konteks
kebaikan sekalipun. Ada yang bilang bahwa lebih baik mencoba lalu gagal
ketimbang tak mencoba dan dihantui oleh kata seandainya. Percayalah, aku termasuk
dalam jenis orang yang dihantui itu dan aku tak bangga sama sekali. Aku ingin lebih
lagi dalam membuat diriku ini bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Purwokerto, 03.25
WIB
1 Maret 2020
Tidak ada komentar untuk "Entah Apa"
Posting Komentar